Testimonial
Pertama kenal Mochtar Lubis adalah lewat novelnya “Jalan Tak Ada Ujung” yang saya baca waktu SMP. Setelah jadi wartawan tahun 1966, saya ketemu langsung dengan beliau. Orangnya jangkung, ganteng dan menarik kepribadiannya. Bayangkan, di usianya ke-50 tahun, beliau belajar tae kwon do, luar biasa.
Salah satu yang selalu dikenang adalah saat beliau memberikan pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki tahun 1977. Pidatonya berjudul “Manusia Indonesia” berisi kritik terhadap manusia Indonesia. Pidato ini membuat gempar karena beliau mengatakan dengan blak-blakan bahwa manusia Indonesia itu feodal, munafik dan sebagainya. Banyak yang bereaksi keras karena banyak orang munafik tidak ingin disebut munafik. Tetapi Mochtar Lubis tidak peduli. Menurut saya, apa yang dikatakan beliau tentang manusia Indonesia masih berlaku sampai saat ini.
Selain itu beliau juga menulis catatan harian saat di penjara berjudul “Catatan Subversif.” Buku ini perlu dibaca bukan saja untuk mengetahui pengalaman Mochtar Lubis tetapi juga mengenal sejarah pers Indonesia.
Saya sangat mendukung Mochtar Lubis Award. Waktu diminta jadi board, saya langsung bersedia. Sudah saatnya kita menghargai jurnalisme bermutu. Reformasi sudah berusia 10 tahun, tetapi masih banyak yang harus dikerjakan. Diharapkan Mochtar Lubis Award ini membawa reformasi di bidang jurnalistik.
Mantan wartawan Indonesia Raya dan kini di Media Indonesia Group. Sebagai penulis tajuk rencana, Mochtar Lubis sangatlah tajam penanya. Tajuknya singkat dan langsung menjurus pada sikap dan masalahnya. Ia tidak bertele-tele dan punya sikap.
Djaffar Assegaf (2004) “Mochtar Lubis Wartawan Pemberani yang Berhati Tulus” dalam Buku Acara Mengenang Mochtar Lubis: 40 Hari Wafatnya Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta “Yayasan Obor Indonesia” Lembaga Pers Dr. Soetomo hal. 38
Perkenalan penulis dengan Mochtar Lubis dimulai ketika penulis masih kanak-kanak yang duduk di bangku SLTP. Ketika itu ayah penulis bekerja sebagai pegawai tata usaha (klerk) di kantor kontrolir (kabupaten) Alor dan Pantar. Biasanya kalau ada kiriman buku-buku perkenanl dari Jakarta ke kantor, ayah sering membawahnya ke rumah dan melemparkannya ke meja tanpa menyuruh atau memaksa membacanya. Penulis meraup buku-buku itu dengan segala isinya. Di antaranya buku HB Jassin berjudul Sastra Indonesia Dalam Kritik dan Esei. Ada gambar Mochtar Lubis di dalamnya. Rasanya dia termasuk yang paling ganteng. Tetapi itu tidak penting. Yang penting adalah mempelajarinya supaya kelak bisa jadi sastrawan.
Gerson Poyk (2004) “Mengenang Mochtar Lubis” dalam Buku Acara Mengenang Mochtar Lubis: 40 Hari Wafatnya Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, “Yayasan Obor Indonesia”, Lembaga Pers Dr. Soetomo hal. 24
Keteladanan Mochtar Lubis dalam mengungkapkan secara dini masalah KKN telah dilecehkan oleh rezim Soeharto dan akibatnya masih terasa sampai sekarang. Sampai detik ini pun Pertamina tetap dilanda isu korupsi walaupun dirutnya menteri dan presidennya sudah berganti tiga kali.
Christian Wibisono (2004) “Mochtar Lubis dan Marlon Brando” dalam Buku Acara Mengenang Mochtar Lubis: 40 Hari Wafatnya Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, “Yayasan Obor Indonesia” Lembaga Pers Dr. Soetomo hal. 23
Karya Mochtar Lubis paling pertama saya baca, seingat saya, adalah terjemahan cerita pendek John Steinbech dalam kumpulan cerpen Tiga Cerita dari Negeri Dollar, terbitan Balai Pustaka, awal tahun 1950-an. Pertama kali melihatnya adalah dari luar pagar Kedutaan Besar Amerika Serikat, ketika saya lewat di Merdeka Selatan. Seorang Indonesia jangkung, tingginya 1,82 cm, baru keluar dari mobil Fiat, parkir di pekarangannya. Melihat wajahnya, saya tahu dia Pimpinan Redaksi Indonesia Raya yang kesohor itu.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya awal 1966, bersama Arief Budiman, Ras Siregar, dan beberapa kawan lain, saya mengunjunginya di rumah tahanan Jalan Keagungan, jakarta Kota.
Setelah babak belur melewati prahara budaya tahun-tahun 60-an, sejumlah penulis muda ingin mendirikan sebuah majalah sastra, dan kami sepakat meminta Mochtar menerbitkan dan memimpinnya. Demikianlah pada bulan Juli 1966 terbit nomor pertama majalah sastra Horison.
Taufiq Ismail (2004) “Mochtar Lubis, Kuli Kontrak dan Penerbang Piper Cub” dalam Buku Acara Mengenang Mochtar Lubis: 40 Hari Wafatnya Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, “Yayasan Obor Indonesia”, Lembaga Pers Dr. Soetomo hal. 20
Dalam kehidupannya, dia membuktikan berjiwa dan berperan sebagai pahlawan, seperti pahlawan kebebasan pers, pahlawan berkreasi. Sesungguhnya ia dapat disebut sebagai 5-wan, yakni wartawan, seniman, sastrawan, budayawan dan pahlawan.
Rosihan. Anwar (2004) “In Memoriam, Mochtar Lubis” dalam Buku Acara Mengenang Mochtar Lubis: 40 Hari Wafatnya Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, “Yayasan Obor Indonesia”, Lembaga Pers Dr. Soetomo hal. 16
Pengamat pers, mantan ketua Dewan Pers dan redaktur pelaksana harian Indonesia Raya Ketika kami berbincang-bincang untuk mengingat pembredelan terakhir Indonesia Raya pada Januari 1974 setelah terjadiya peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari), Mochtar Lubis mengemukakan pandangannya, “Saya dianggap kurang mempertimbangkan survival bisnis surat kabar”, saya bukannya tidak mempertimbangkan hal itu tetapi, saya pikir, sewaktu kita dulu berjuang, ratusan ribu teman kita mati untuk merebut satu kemerdekaan. Pengorbanan itu kemudian ada artinya buat kita. Apakah karena 100 orang yang bekerja pada kita, lalu kita hendak mengorbankan prinsip kemerdekaan pers? Buat saya, mestinya per situ bisa berfungsi sbagaimana seharusnya. Kalau dia tidak lagi berfungsi sebagaimana seharusnya, saya rasa lebih bagus dia berhenti, ditutup!. Lebih bagus kita bungkam suara kita, dan kebungkaman itu saya rasa tetap berbicara. Atmakusumah (2004) “Kebungkaman yang Berbicara” dalam Buku Acara Mengenang Mochtar Lubis: 40 Hari Wafatnya Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, “Yayasan Obor Indonesia”, Lembaga Pers Dr. Soetomo hal. 14
Vashti Trisawati Abhidana:
Pengajar di jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Pengajar di jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Saya mulai mengenal Mochtar Lubis ketika membaca buku “Manusia Indonesia”. Begitu nikmatnya membaca buku itu dikala Indonesia mengalami masa represif tahun 80an. Meski saat itu masih SMP, buku ini membuka mata dan hati saya! – Vashti Trisawati Abhidana -
Perkenalan awal saya dengan karya-karya Mochtar Lubis justru bukan lewat jurnalisme, tetapi melihat beliau sebagai sastrawan. Manusia Indonesia yang saya baca ketika SD membuat saya ternganga. Ketika remaja, saya terpukau dengan Harimau! Harimau! dan bertanya-tanya tentang \”harimau\” yang ada dalam diri manusia. Sedikit banyak, tulisan-tulisan ini yang membuat saya ingin tahu lebih banyak tentang karakter dan kepribadian manusia dan masuk Fakultas Psikologi UI. Mengenal Mochar Lubis sebagai jurnalis justru terjadi belakangan, lewat catatan harian selama dipenjara di Nirbaya dan Catatan Subversif. Semakin saya kenal figur Mochtar Lubis, semakin saya merasa Indonesia sungguh beruntung mempunyai jurnalis sekaliber seperti beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar