PROFIL MLA - MLF

Mochtar Lubis Award - MLA adalah sebuah penghargaan khusus dunia jurnalistik di Indonesia yang diadakan setiap tahun. Penghargaan ini dimulai sejak tahun 2008 yang lalu dan kini sudah memasuki usianya yang keempat.

Dengan mengusung misi sebagai pemberi penghargaan tertinggi untuk dunia jurnalistik, MLA berupaya untuk menjaring karya jurnalistik sepanjang tahun baik di media cetak maupun elektronik TV. Sesuai dengan kapasitas yang ada hingga saat ini, MLA belum mengakomodasi karya jurnalisme multimedia online dan radio.

5 kategori akan menjadi menu utama dalam penghargaan ini: feature, investigasi, public service, in depth reporting TV dan foto jurnalisme.


Kamis, 28 Juli 2011

Berita : 80 Persen Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik - Harian Pagi Padang Ekspres


Padang, Padek—Sedikitnya 251 pengaduan diterima Dewan Pers sejak Januari hingga Juni 2011. Di mana, 74 pengaduan langsung dan 177 tembusan. Sedangkan tahun lalu, Dewan Pers menerima 512 pengaduan kalkulasinya 144 pengaduan langsung dan 368 tembusan. Menariknya, 80 persen dari kasus yang ditangani dan dimediasi Dewan Pers selama 2010, berakhir dengan keputusan bahwa terjadi pelanggaran kode etik jurnalistik oleh media atau jurnalis.

”Berbagai pelanggaran kode etik yang terjadi itu, seperti mencampurkan fakta dan opini, data tidak akurat, keterangan sumber berbeda dengan yang dikutip dalam berita. Lalu, sumber berita tidak kredibel atau tidak jelas, berita mengandung muatan kekerasan, sadisme, atau pornografi,” papar Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers, Agus Sudibyo, dalam diskusi "New Media dan Problematika Etika Jurnalistik" yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang dalam rangkaian acara memperingati ulang tahun AJI ke-17, di Padang, Rabu (27/7).

Persoalannya, sebut Agus, terjadi karena para jurnalis dan media yang bersangkutan lemah dalam melakukan verifikasi dan tidak melakukan konfirmasi, terhadap berita-berita yang mengandung satu penilaian dari satu pihak ke pihak lain. Akibatnya, berita menjadi tidak berimbang, berpihak, atau menghakimi.

Lebih jauh dia mengatakan, hal tersebut terjadi karena kecenderungan media dalam jurnalisme ”hit and run”, sehingga mengecilkan pentingnya konfirmasi, tidak tuntas dalam verifikasi, menghakimi orang-orang yang terlanjur menjadi ”public enemy” atau terlanjur tidak bagus citranya di mata publik. Juga, membawa-bawa sentimen pribadi atau kelompok ke dalam pemberitaan, serta mengasumsikan masyarakat tidak mengetahui kode etik jurnalistik dan nilai-nilai berita, dan cenderung arogan.

”Sekoruptor-koruptornya seseorang, bagaimana pun jurnalis dan media tidak boleh menghakimi, dan harus fair,” terangnya.
Untuk menghindari keadaan demikian, kepada puluhan jurnalis dari berbagai media, blogger dan juga pers mahasiswa, Agus memaparkan sejumlah tips.
Di mana, jurnalis dan media mesti membedakan berita bersifat informatif dengan berita mengandung penilaian terhadap pihak tertentu. ”Berita mengandung penilaian terhadap pihak tertentu, harus terus mengusahakan konfirmasi dan verifikasi,” ungkapnya. (cp)
[ Red/Redaksi_ILS ]

The future of newspapers: Who killed the newspaper? | The Economist

The future of newspapers: Who killed the newspaper? | The Economist
The most useful bit of the media is disappearing. A cause for concern, but not for panic

Aug 24th 2006 | from the print edition



A GOOD newspaper, I suppose, is a nation talking to itself,” mused Arthur Miller in 1961. A decade later, two reporters from theWashington Post wrote a series of articles that brought down President Nixon and the status of print journalism soared. At their best, newspapers hold governments and companies to account. They usually set the news agenda for the rest of the media. But in the rich world newspapers are now an endangered species. The business of selling words to readers and selling readers to advertisers, which has sustained their role in society, is falling apart (see article).

Jumat, 22 Juli 2011

Old Mogul, New Media


Can Rupert Murdoch adapt News Corporation to the digital age?



JUNE 2005 Ross Levinsohn, head of new media at News Corporation, a media conglomerate, presented an internet strategy to a gathering of the company's top managers. It was a daunting prospect: many of them were deeply sceptical about the internet, having watched the dotcom bust of 2000-02. Sure enough, Mr Levinsohn found himself interrupted. “We really can't do that,” objected a senior executive. Before Mr Levinsohn could respond he heard another voice: “What do you mean, we can't do that? Of course we can do that.” It was Rupert Murdoch, the firm's